Sinopsis Novel Bulan Terbelah di Langit Amerika
Tatkala melihat judul novel “Bulan Terbelah di Langit Amerika”, sebagian besar pembaca akan penasaran dengan isinya. Pembaca akan dibuat bertanya-tanya “Apa sih maksud judul bulan terbelah di langit Amerika ini?”. Mungkin ada pembaca yang mulai berandai-andai “Apa benar ada bulan yang terbelah di langit Amerika?”. Mungkin pula juga ada yang mengira bahwa buku ini berisi cerita traveling penulis selama di Amerika, lalu menyaksikan bukti nyata di suatu lab astronomi universitas tertentu atau bahkan lab milik NASA bahwa bulan memang pernah terbelah. Rupanya penulis, Hanum Salsabila Rais dan Ranga Almahendra sengaja membuat penasaran para pembaca novel ini. Pembaca dituntut untuk melahap habis seluruh isinya agar kita sebagai pembaca bisa paham dan memperoleh jawaban mengapa judul bukunya seperti itu. Semuanya kan terungkap jelas ketika kita membaca bagian akhirnya.
Novel “Bulan Terbelah di Langit Amerika” bisa dikatakan merupakan kelanjutan kisah petualangan Hanum dan Rangga selama hidup di negeri orang. Sebelum novel ini terbit, penulis telah menelurkan dua buku best seller yaitu 99 Cahaya di Langit Eropa dan Berjalan di Atas Cahaya. Berbeda dengan dua buku pendahulunya yang didasarkan pada cerita nyata, sementara Bulan Terbelah di Langit Amerika merupakan perpaduan antara berbagai dimensi genre buku yaitu drama, fakta sejarah dan ilmiah, traveling, spiritual, serta fiksi. Pembaca tak akan bosan membaca fakta sejarah dan ilmiah karena disajikan secara apik dalam novel ini.
Novel “Bulan Terbelah di Langit Amerika” akan mengingatkan kembali kepada kita peristiwa black Tuesday 9 september 2001. Meskipun sudah lama berlalu, peristiwa Black Tuesday masih terekam dalam ingatan kita. Amerika dan Islam, bak dua kutub yang tolak-menolak. Islam menjadi pesakitan, julukan teroris kemudian melekat bagi setiap penganutnya. Dunia seakan mengidap Islamophobia berjamaah. Penyakit itu menular dari satu negara ke negara lain. Dunia begitu sensitif dengan segala hal yang berbau Islam. Islam divonis sebagai pihak yang bertanggung jawab atas segala bentuk terorisme yang terjadi di muka bumi. Muncul pertanyaan, “Would the world be better without Islam? Apakah dunia akan lebih baik tanpa Islam?”. Pertanyaan itu lah yang akan terkupas tuntas di bagian cerita dari novel ini.
Berawal dari penugasan dari seorang bos, Gertrud Robinson. Hanum sebagai wartawan diperintahkan untuk menulis artikel di sebuah surat kabar Austria, yang bernama “Heute ist Wunderbar”, Today Is Wonderful,Hari Ini Luar Biasa. Hanum ditantang untuk menulis artikel berjudul “Would the world be better without Islam? Apakah dunia akan lebih baik tanpa Islam?”. Bagi Hanum, itu adalah sebuah tugas besar dimana ia harus berkata “tidak” pada pertanyaan itu. Ia harus membuktikan bahwa dunia dan islam adalah dua hal yang tak terpisahkan. Bagi Gertrud Robinson, Hanum adalah orang yang tepat untuk menjelaskannya, sebab ia muslim. Ketimbang wartawan lain, yang hampir saja tugas itu diamanahkan kepada Jacob, seorang non muslim yang pastinya akan berkata “ya” pada pertanyaan tersebut.
Hanum dan Rangga akhirnya terbang ke Amerika secara bersama-sama, namun mereka memiliki misi yang berbeda. Jika Hanum bertugas untuk menyelesaikan tugas kewartawanannya, lain halnya dengan Rangga. Rangga bertandang ke Amerika untuk mengikuti konferensi ilmiah. Misi yang berbeda dari keduanya yang ternyata pada akhirnya mempertemukan mereka pada Philipus Brown, seorang pengusaha dan penderma yang juga merupakan korban black Tuesday 9/11. Semuanya terkuak ketika Philipus Brown bercerita tentang kisah di balik tragedi naas itu. Semuanya terungkap bahwa Amerika dan islam adalah dua hal yang tak terpisahkan.
Tak hanya inspiratif, namun buku ini juga menyuguhkan sejarah mengenai hubungan Islam dan Amerika. Bercerita tentang suku Melungeon, Thomas Jefferson dan Al-Qur’an, dan potongan surat An-Nisa yang tertulis di salah satu pintu gerbang fakultas Hukum Harvard USA. Selain itu, novel ini juga mengungkapkan fakta bahwa Christophorus Colombus sebenarnya bukan penemu benua Amerika. Tertulis bahwa jauh sebelumnya, berkisar 300 ratusan tahun sebelum Colombus datang ke Amerika, benua itu telah dihuni oleh orang Indian, orang-orang bertubuh tegap berbalut jubah, berhidung mancung, dan berkulit merah. Pembaca akan terkejut pula ketika mengetahui bahwa dalam jurnal pelayarannya Colombus, ia melihat adanya kubah masjid yang indah di Selat Gibara. Hal itu menjadi bukti bahwa islam hadir di Amerika jauh sebelum Colombus datang.
Novel ini dibangun dengan konsep serendipity, yakni konsep serba kebetulan yang mengindahkan ceritanya. Pembaca akan dibuat terkagum-kagum dan terkejut tatkala menuntaskan halaman demi halamannya. Sungguh penulis sangat pandai merajut cerita ini. Bisa dikatakan ini merupakan novel Islami. Meskipun penulis mengatakan bahwa beberapa pemaparan dalam novel ini masih bersifat “debatable”, masih diperdebatkan. Namun, terlepas dari aktual atau tidaknya sejarah dan fakta ilmiah yang diungkap, yang terpenting adalah bagaimana kita mengambil manfaat dari novel ini. Dituturkan secara apik oleh sang penulis dan sekali lagi akan membuat pembaca ikut larut ke dalam kisah di dalamnya. Sebuah buku tentang kisah perjalanan yang sarat akan makna dan membuat pembaca semakin mencintai Islam. Novel ini tak hanya cocok buat pembaca muslim saja, melainkan juga cocok buat seluruh masyarakat dunia agar paham bahwa “muslim is not a terrorist”, muslim bukan lah teroris. Pembaca akan paham bahwa dunia dan islam adalah dua hal yang tak terpisahkan. Dunia tanpa islam adalah dunia tanpa kedamaian.
0 komentar: