Selasa, 26 Mei 2015

Ayah Sosok yang Aku Kagumi

Yulianti Komalasari


Adzan subuh membangunkanku dari tidurku. Suara ayam berkokok dinginnya angin pagi harus memaksaku membuka mata untuk melihat dunia. Aku mencuci muka untuk mengusir rasa kantukku, dan mengambil air wudhu untuk menunaikan sholat shubuh. Tak hanya disitu, masih banyak aktivitas yang harus aku lakukan dari mulai menyiapkan keperluanku dan adik-adikku sampai menyiapkan sarapan untuk adik-adikku dan ayah. Aku anak sulung dari tiga bersaudara. Ibu telah lama meninggalkan kami. Waktu itu saat usia adik keduaku berumur 5 tahun, ibu menghembuskan nafas terakhirnya. Kami hanya hidup berempat, dengan kondisi ayah yang sudah tua harus mencari nafkah untuk ketiga anaknya. Badan tuanya harus berjuang melawan teriknya matahari. Mata yang terpancar penuh harapan kepada anaknya agar anaknya menjadi seorang yang sukses.
Kini aku telah berusia 15 tahun dan aku kini telah duduk di kelas X SMA. Bersyukur aku masih bisa sekolah, dan adik keduaku berusia 10 tahun yang duduk di kelas 4 SD, dan adik ketiga ku berusia 5 tahun. Kadang aku berpikir dari mana ayah membiayai aku dan adik-adikku bersekolah, karena upah yang ayah terima dari hasil buruh tani hanya cukup untuk sesuap nasi dan beberapa lauk pauk ,ayah dengan segala cara untuk membuat aku dan adik-adikku tetap sekolah. Aku membantu ekonomi keluargaku dengan cara menjual dagangan tetanggaku dengan cara bagi hasil  itupun kalau dagangannya laku. Itu aku lakukan untuk memenuhi keperluan sekolahku dan adik-adikku. Aku masih ingat saat itu adik-adikku meminta pensil warna yang baru karena teman-temannya telah memiliki pensil warna itu. Aku harus memutar balikan otakku  berpikir bagaimana caranya untuk membeli pensil warna untuk adik-adikku , karena waktu itu aku dan ayah sama sekali tidak memiliki uang. Aku juga selalu menangis ketika aku mengingat kejadian ketik suatu hari ketika aku berjalan menuju sekolah sembari membawa daganganku. Tapi tiba-tiba saja ada mobil yang menabrakku sehingga semua daganganku tumpah semua dan penuh dengan tanah. Dan aku tidak bisa lagi mengambilnya karna semuanya kotor. Tapi untunglah saja waktu itu aku tidak apa-apa. Itulah kondisi ekonomi kami. Jauh dari kata kaya, kadang kami diberi bantuan dai tetangga yang mungkin kasihan atau sekedar iba pada kami.
Diselang waktu kosong aku selalu membaca buku motivasi-motivasi. Itu adalah kekuatanku untuk menghadapi betapa sulitnya dunia ini, itulah caraku agar aku bisa tetap tegar. Itulah alasan aku melawan rasa malu dan minder. Karena hampir semua buku-buku yang aku baca, oarang yang sukses pasti pernah mengalami apa itu susah. Tergantung apakah kita mau berusaha atau tidak.
Tak terasa aku sudah kelas 3 SMA. Sudah aku lewati manis pahitnya kehidupan di SMA. Hingga tibalah momen yang ditunggu-tunggu selama ini, yaitu UJIAN NASIONAL. Aku mengerjakan soal-soalnya dengan semaksimal mungkin, tidak tahu hasilnya bagaimana karena manusia hanya dinilai dari usahanya oleh Allah. Tiba saatnya hari pembagian nilai ujian nasional dengan dandanan sederhana dengan membawa dagangan tetangga aku menuju sekolah untuk melihat hasil ujianku.
Dan ternyata Nilai hasil ujianku tertinggi disekolah. Dengan rasa bangga aku mengambil amplop yang berisi hasil ujianku. Langsung aku pergi menuju rumah untuk memberi kabar gembira ini kepada ayah dan adik-adikku.
Tok...tok..tok
“ Ayah alhamdulilah nilai Ana tertinggi disekolah”, ucap Ana pada ayahnya yang sedang berdiri didepan pintu.
Dan tiba-tiba ayah menangis mendengar kata-kataku..
“Ayah kenapa? Kenapa ayah menangis?”, kataku heran
“Ayah tidak apa nak, ayah hanya bangga mempunyai anak seperti mu. Anak ayah yang pintar ini mau masuk universitas mana?”, ayah bertanya padaku
“Tak perlu melanjutkan hingga ke Universitas yah, aku hanya ingin bekerja membantu ayah mencari uang”, kataku sambil berkaca-kaca.
“Tidak boleh. Anak ayah harus tetap bersekolah dan melanjutkan pendidikanmu ke jenjang yang lebih tinggi”, kata ayah dengan tegas
“Apa ayah mempunyai uang?”, kataku pada ayah.
“Ayah akan mencari secepat mungkin agar anak ayah bisa melanjutkan sekolahnya”, kata ayah dengan tegas sembari tersenyum.
Aku sangat bangga memiliki ayah yang sangat kuat. Walaupun keluarga kami miskin, ayah ingin anak-anaknya bisa bersekolah dan sukses.
“ Yaa.. Allah titiplah ayah supaya ayah tetap dilindungi-Mu ya Allah. Amiiinnn”, aku berdoa agar ayah selalu sehat dan tetap bahagia dalam hidupnya.
Waktu itu hujan lebat. Tiba-tiba saja ada yang mengetok pintu rumahku. Tok..tok..tok
Lalu ku bukakan pintu dan ternyata itu adalah ayah. Seluruh tubuh ayah basah kuyup dan tampak badannya mengigil kedinginan. Kemudian ku suruh ayah untuk masuk dan ku ambilkan handuk agar ayah dapat mengeringkan badannya yang kini basah kuyup.
“Ayah dari mana? Kenapa ayah basah kuyup seperti ini?”, tanyaku pada ayah
“ Ayah tadi mencari pinjamana uang nak untuk kamu masuk ke universitas”, jawab ayah sembari mengusap-usapkan rambutnya dengan handuk.
“Tak usah repot-repot seperti ini ayah. Jika memang tidak ada biaya,aku tidak usah kuliah. Aku akan membantu ayah saja”, jawabku pada ayah
“Tak bisa. Kamu harus melanjutkan pendidikan mu. Ayah mau anak ayah menjadi orang yang sukses. Jangan seperti ayah”, jawab ayah dengan tegas dan menatapku dengan matanya yang sayup-sayup.
“ Tapi ayah..bagaimana kita mengembalikan uang ini?”, sembari memegang uang
“ Kamu jangan khawatir nak. Yang penting besok kamu harus cepat-cepat daftar masuk kuliah”, kata ayah yang kemudian langsung masuk ke kamar.
Aku bener-benar tidak bisa menahan lebih lama air mataku ini. Dan tiba-tiba air mataku jatuh dan membasahi pipiku. Aku sangat menyangi ayah..dia rela berkorban demi ku.
Dan kini aku telah masuk ke Universitas. Aku akan pergunakan kesempatan ini untuk menggapai cita-citaku. Karena dengan cara inilah aku berbakti pada ayah yang telah banyak berkorban untuk hidupku selama ini.
Kini aku sangat jarang bertemu dan bersama dengan ayah dan adik-adikku karena aku kini telah tinggal di sebuah kos-kosan. Di kos-kosan inilah aku menghabiskan waktuku untuk melewati masa-masa kuliahku yang tidak jarang aku merasa sangat lapar karna uang bulanan yang diberikan ayah untukku telah habis. Aku ingin meminta kembali pada ayah, tapi itu tidak mungkin karena pasti ayah tidak mempunyai uang. Dan kini adik-adikku telah beranjak dewasa. Pasti mereka juga membutuhkan biaya untuk bersekolah. Pada akhirnya aku menjajakan daganganku kembali. Seperti saat-saat SMA.. tapi kini bukan dagangan tetangga ku,tapi dagangan teman-temanku. Selama berkuliah aku mencari usaha yang lain juga agar bisa membayar uang kuliah dan membayar tempat tinggalku, dan sebagian jika aku mendapatkan penghasilan yang  lebih..aku berikan pada ayah.
Tidak terasa kini aku telah wisuda. Aku telah menyelesaikan pendidikanku.. ayah terlihat sangat bangga padaku. Aku sangat senang karna ayah bisa tersentum melihatku yang kini telah menjadi sarjana. Akupun sangat senang ketika saat tiba acara berfoto, ayah memakai baju yang rapih. Betapa senang nya aku saat itu bahkan aku tidak bisa menahan tangisanku. Bagaimana tidak, seorang anak buruh taniyang hidpnya jauh dari kata sempurna, kini telah menjadi seorang sarjana.
***
Aku kini telah bekerja di salah satu tempat yang berlokasi di sebuah perkotaan. Aku ingat saat itu hujan deras dan aku tidak tahu bagaimana aku harus pulang. Dengan sigap ayah menjemputku dan membawakan jas hujan untukku. Saat ini aku bekerja dana mendapatkan gaji yang mampu menyekolahkan adik-adikku dengan hasil keringatku sendiri. Alhamdulilah kini hidupku telah cukup mapan. Aku memperbaiki rumah ayah yang sudah tidak layak pakai menjadi rumah yang nyaman untuk tempat tinggal ahay dan adik-adikku, kini akupun tinggal bersama ayah  tidak lagi tinggal di kos-kosan yang sempit seperti dulu.
Kini aku sedang duduk di ruang tamu bersama ayah dan ia tiba-tiba mengatakan sebuah nasehat padaku
“ Nak, jadilah hidupmu seperti tukang parkir!”, ayah berkata padaku sembari memegang tanganku.
“ Memang kenapa yah?”, tanyaku heran pada ayah
“ Tukang parkir memiliki banyak mobil dan ia tidak sombong, ketika mobilnya diambil ia tidak pernah sedih, karna ini semuanya hanyalah titipan”, kata ayah padaku
“Apa maksudnya ayah? Aku tidak mengerti”, jawabku yang masih heran pada perkataan ayah
“Nak, janganlah menjadi orang yang sombong dengan semua yang kamu miliki saat ini, karena ini semua hanyalah tititpan. Itu pesan ayah untukmu nak”, kata ayah padaku
“ iya ayah. Aku akan selalu mengingat pesan ayah ini”, jawabku pada ayah. Dan tiba-tiba air mataku pun terjatuh.
Aku selalu mengingat pesan ayah. Dan aku selalu menerapkannya dalam hidupku karna aku sangat menyayangi ayah yang selalu berkorban untuk anak-akannya. kini aku telah mampu memebeli rumah yang terbilang mewah, tapi ayah tidak mau tinggal bersamaku. Ayah memilih tinggal dirumah yang dulu. Aku selalu membujuk ayah agar dia mau tinggal bersamaku..tapi ayah bersikeras menolak untuk tinggal bersamaku
“ Ayah ingin tetap tinggal disini nak, rumah ini adalah sejarah, rumah ini adalah saksi dimana kita melewati pahit manisnya hidup”, kata ayah dengan penuh makna
“Baiklah ayah. Kalo ayah senang,aku pun ikut senang”, kataku pada ayah
***
Saat ini aku telah memiliki seorang pria yang akan ku kenalkan pada ayah. Saat ku perkenalkan laki-laki pilihanku ini, ternyata ayah menyetujuinya. Ayah menyetujui hubungan kami dan waktu terus berjalan hingga kami melaksanakan pernikahan. Kini aku telah resmi menjadi istri seorang laki-laki bernama Ozi. Saat acara pernikahan berlangsung, ayah berkata padaku.
“ Kini tugas ayah sudah selesai, kini ada yang menjagamu. Hormati suami mu nak. Hormati dia sama seperti kamu menghormati ayah. Kini ayah memberikan tugas ayah pada suamimu untuk menjaga dan menafkahimu”, kata ayah yang kemudian memeluk dan menangis.
“ Terima kasih untuk semuannya ayah. Ayah telah menjagaku hingga aku besar seperti ini. Aku akan selalu ingat pesan ayah ini”, jawabku pada ayah dan aku pun ikut menangis.
***
Kini aku tinggal dirumah yang waktu itu aku beli. Aku tinggal bersama sumiku dan ayah serta adi-adikku tinggal bersama di rumah kami yang dulu. Adik-adikku kini telah melanjutkan pendidikannya. Adikku yang kedua sudah lulus sarjana di salah satu Universitas dan adik bungsuku sedang menempuh pendidikan SMA nya.
Saat aku sedang bekerja di kantorku, tiba-tiba saja teleponku berdering. Kulihat ternyata adikku lah yang menelepon.
“Haloo...ini kak Ana?”, suara adekku terdengar sangat panik
“Iya ini ka Ana.. ada apa dek? Kenapa kamu panik?”, tanyaku yang ikut panik
Ayah ka....ayah”, sambil terbata-bata
“Ayah kenapa dek?”, kataku pensaran
“Lebih baik kaka datang kesini. Sekarang juga”, kata adi dengan panik
Setelah menerima telepon dari adikku, aku segera pergi kerumah ayah. Saat aku diperjalanan aku sangat khawatir pada keadaan ayah. Setelah aku sampai dirumah ayah, aku meliah ayah terbaring dikamarnya tak berdaya.
“Ayah...ayah bangun. Ini Ana ada disamping ayah”,aku terus memegangi tangan ayah sembari menangis.
“ Ana, ayah ti..tip adi..adikmu. Jaga mereka baik-baik ya nak. Kini ayah telah tua dan kini saatnya ayah pergi”, kata ayah tebata-bata dan ayah pun pergi menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Ayah telah meninggalkan kami semua. Aku sangat sedih dan tidak bisa berhenti menangis. Tapi aku sudah mengikhlaskan ayah. Ayah memang sudah tua, waktunya ayah beristirahat dari segala kehidupannya. Ayah telah banyak berjasa bagi anak-anaknya. Aku akan mengingat semua pesan ayah untukku. Ayah adalah sosok yang sangat bai,berjasa,dan ia adalah sosok ayah sekaligus ibu buat kami.

“Terima kasih ayah, untuk semuanya..untuk didikanmu dan untuk nasehat-nasehatmu kan kuingat selalu. Akan ku jaga adik-adikku sebagaimana amanat mu ayah. Hidup adalah perjuangan dan dari perjuangan perlu pengorbanan dan dari pengorbanan lahirlah KENIKMATAN”

0 komentar: