Sinopsis novel antologi rasa
Novel Antologi Rasa karya Ika Natassa merupakan sebuah novel yang diterbitkan oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama. Novel ini bercerita tentang lika-liku perjalanan asmara Keara yang bekerja di sebuah bank ternama di Indonesia. Keara yang diceritakan merupakan lulusan universitas di Amerika ini mempunyai gaya hidup tingkat tinggi. Kebiasaan yang dilakukan adalah clubbing, belanja, dan makan di resto mahal. Hal tersebut tidak berbeda dengan Harris Risjad, teman sekantor Keara. Namun, perbedaan diantara keduanya adalah Harris tidak suka belanja. Pertemuan Harris dan Keara terjadi ketika mereka sama-sama diterima kerja di sebuah bank yang ada di daerah Jalan Sudirman, Jakarta. Pada saat itu, Harris yang notabene juga merupakan seorang playboy ini langsung jatuh hati kepada Keara. Tidak seperti kebanyakan perempuan lainnya, Keara memiliki keunikan tersendiri dari sudut pandang Harris. Selain itu, kedekatan keduanya juga berlandaskan kepada perilaku yang sama, yaitu suka minum wine. Hal tersebut pula yang menjadikan Harris dan Keara menjadi dekat. Kedekatan tersebut terjalin sangat erat hingga Harris selalu ada untuk Keara. Entah untuk mengusir rasa bosan atau penat di kantor maupun untuk menemani Keara yang hanya ingin bersenang-senang dan mengeluarkan sisi Keara yang sebenarnya tanpa harus berpura-pura.
Sayangnya, Keara malah menyukai Ruly, teman sekantor yang pernah bersama-sama ditempatkan di daerah terpencil. Berkat penempatan kerja di daerah terpencil tersebut, Keara, Harris, Ruly, dan Denise menjadi sahabat hingga mereka kembali ke kantor utama di Jakarta. Kehidupan Ruly yang jauh dari hingar bingar kemewahan, alim, dan selalu bersikap baik kepada semua orang tersebut yang membuat Keara jatuh hati. Keara mengetahui bahwa perbuatan dan sikapnya jauh dari baik. Oleh sebab itu, Keara ingin mendapatkan pasangan yang tidak seperti dirinya yang tidak baik. Hal tersebut juga dapat menjawab alasan Keara hanya menganggap Harris teman saja. Terlebih lagi setelah perbuatan Harris yang dilakukan kepada Keara di tengah kondisi tidak sadarkan diri di Singapura membuat Keara tidak mengganggap Harris temannya lagi.
Pada dasarnya, orang baik akan mendapatkan orang baik dan orang tidak baik akan mendapatkan orang yang tidak baik pula. Untungnya, Ika Natassa menyadari hal tersebut. Ruly yang digambarkan baik tersebut tidak menyukai Keara, tetapi Denise yang sudah mempunyai suami. Bisa dibilang terjadi cinta segi empat antara Keara, Harris, Ruly, dan Denise. Cinta yang tidak berbalas satu dengan yang lainnya tersebut membuat mereka (selain Denise) melampiaskan pelarian kepada orang lain. Keara melakukan pelariannya dengan ‘bermain’ bersama Panji Wardana, adik ipar dari Dinda teman karibnya sewaktu kuliah di Amerika. Meskipun awalnya Keara hanya ingin bersenang-senang dengan meladeni godaan Panji, tetapi Panji ternyata benar-benar jatuh hati kepada Keara. Sementara itu, Ruly melakukan pelampiasan kepada Keara. Hal tersebut membuat Keara mempunyai harapan dengan Ruly. Bahkan, Ruly dan Keara benar-benar dekat hingga berciuman. Namun, Keara tahu bahwa Ruly tidak akan bisa untuk berpaling dari Denise. Beda lagi dengan Harris yang tidak bisa melancarkan aksi nakalnya karena hanya menginginkan Keara untuk menjadi pasangan hidupnya. Meskipun demikian, kesetiaan Harris membuahkan hasil yang manis karena setelah Keara tahu bahwa Ruly tidak akan bisa berpaling dari Denise, hati Keara pun luluh. Sikap dingin yang ditunjukkan Keara kepada Harris setelah kejadian tidak menyenangkan di Singapura luntur. Hal tersebut disebabkan Harris selalu ada untuk Keara.
Di akhir cerita, tidak dijelaskan bagaimana kelanjutan kisah antara Harris dan Keara, apakah Keara dan Harris bersatu atau hanya kembali berteman. Dalam novel hanya disebutkan bahwa Keara pun luluh dengan sikap Harris dan tidak bersikap dingin kembali. Akhir yang menggantung dan terkesan dipercepat tersebut merupakan kelemahan dari novel ini. Bisa saja hal tersebut memang disengaja oleh pengarang untuk tidak membuat keputusan final dan mengajak pembaca berpikir atas akhir cerita. Namun, hal tersebut secara bersamaan membuat kecewa pembaca yang ingin mengetahui akhir kejelasan cerita. Jujur saja, hal yang membuat ingin menyelesaikan membacanya adalah mengetahui hasil akhir cerita. Hanya hal tersebut yang membuat keinginan membaca hingga tuntas. Dari segi perbuatan dan gaya berpikir tokoh dalam novel ini sangat buruk sekali. Padahal, novel ini bisa dibilang novel yang sasaran pembacanya adalah remaja. Gaya hidup hedonis, gaya berpikir orang kalangan atas, dan perbuatan tidak terpuji lainnya dapat membuat remaja salah mengartikan semua tingkah laku di novel. Remaja akan menjadikan panutan dan melakukan hal yang demikian pula. Hal tersebut merusak moral pembaca walaupun cerita tersebut berangkat dari pengalaman pribadi. Seharusnya, ada batasan agar pembaca tahu bahwa perbuatan tersebut tidak baik.
Selain itu, gaya penceritaan Ika Natassa yang banyak menggunakan campuran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris tersebut tidak bagus. Sebenarnya, tidak apa-apa jika menggunakan campuran bahasa tersebut, tetapi agak berlebihan dalam penggunaannya. Meskipun tokoh Keara dan teman-temannya lulusan universitas di Amerika, tidak sebegitu seringnya dan berlebihannya juga menggunakan bahasa Inggris. Jika remaja yang membaca novel ini ditakutkan remaja tersebut akan menggunakan campuran bahasa agar lebih keren karena citra tersebut yang ditampilkan dalam novel ini. Hal tersebut akan membuat bahasa Indonesia termajinalisasi dan dianggap rendah sehingga remaja akan enggan atau malu jika tidak menggunakan campuran bahasa.
Tidak hanya itu, sudut pandang yang ditampilkan dalam novel ini diambil berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu sudut pandang Keara, Harris, dan Ruly. Namun, pengambilan sudut pandang yang tidak umum ini tidak terlalu berhasil membuat kagum jika membacanya. Hal tersebut disebabkan gagalnya Ika Natassa melihat sudut pandang tokoh laki-laki, Harris dan Ruly. Kegagalan tersebut terlihat dari kesamaan penggunaan campuran bahasa yang digunakan Harris, Ruly, dan Keara. Selintas tidak ada perbedaan sudut pandang karena gaya berpikir dan berbicara ketiga sudut pandang sama saja. Hanya saja yang membedakan adalah perilaku dan alasan melakukan perilaku tersebut. Bahkan, tokoh Harris dan Ruly agak dipaksakan ‘laki-laki’ dengan gaya berpikir seperti Keara. Sebagai contoh, Ruly sering sekali menggunakan bahasa campuran dalam bepikir padahal kalau dilogika kesan Ruly yang ditampilkan pengarang adalah kesahajaan dan tidak terlalu ‘gaul’ dengan tidak anti terhadap makanan murah. Apalagi Ruly dalam dialognya jarang memakai bahasa campuran dan kuantitas campuran bahasa Ruly, Harris, dan Keara dalam berpikir itu sama. Hal tersebut dirasa ganjil sehingga pembacanya akan merasa bahwa sudut pandang hanya satu, yaitu sudut pandang dari Keara, hanya saja tahu semua isi hati Harris dan Ruly.
Terlepas dari itu semua, adanya tiga sudut pandang dalam satu novel merupakan variasi baru dalam berkreasi. Keberanian untuk mengambil sesuatu hal yang baru patut diacungkan jempol walaupun gaya seperti ini hampir sama dengan sudut pandang orang ketiga. Mungkin, novel ini akan jauh lebih baik jika digunakan dalam sudut pandang orang ketiga sehingga pembaca tidak terlalu berspekulasi tinggi terhadap perbedaan sudut pandang. Dalam hal ini, pembaca diharapkan dapat mengambil pelajaran yang baik dari novel ini. Besar harapan segala perbuatan dan gaya hidup tidak baik yang ada di novel ini tidak dicontoh dan tidak menjadi acuan bahwa hidup seperti itu adalah benar. Sumber: https://satwikobudiono.wordpress.com/2014/02/20/resensi-novel-antologi-rasa-karya-ika-natassa-2/
0 komentar: